Rabu, 14 Desember 2011

Sebuah catatan perjalanan : Catatan Mahasiswa Luar Biasa


“Lomba Menulis Kisah Inspiratif”
Tema : Sepenggal kisah bersama Bidik Misi
Syarat :
1. Peserta adalah mahasiswa penerima beasiswa bidik misi angkatan 47 atau 48 (termasuk tambahan).
2. Mengumpulkan fotocopy KTM, dan mengisi formulir online disini
3. Tulisan merupakan hasil karya sendiri, kisah yang menginspirasi, implikasi dengan adanya beasiswa bidik misi terhadap penulis (kisah nyata)
4. Penulisan diketik menggunakan font TNR, spasi 1, minimal 3 halaman A4 dengan margins 4 3 3 3
5. Paling lambat pengumpulan berkas tanggal 1 Desember 2011 pk 16.00 di Loket beasiswa Direktorat Kemahasiswaan IPB
6. Lima tulisan terbaik akan mendapatkan sertifikat, piala, serta tabungan.
Informasi: Fb ditmawa, Web Kemahasiswaan
085648xxxxxx
085710xxxxxx
085691xxxxxx

Demikian bunyi pengumuman yang disampaikan melalui situs jejaring sosial itu. Menulis memang hobiku. Aku senang menulis. Tapi, apakah tulisanku bisa disebut ‘Kisah Inspiratif’? Setidaknya dari beberapa pengakuan teman-teman, kisahku cukup menginspirasi mereka. Jadi, apa salahnya jika aku berbagi dengan anda? Semoga anda dapat terinspirasi juga seperti mereka. Dan semoga kisah ini dapat menginspirasi banyak orang setelah anda.
Inilah kisahku....
***
Aku, yang sejak kecil bahkan tidak berani bermimpi.
Aku, yang sejak SD bahkan tidak berani berangan untuk melanjutkan ke SMP, apalagi SMA.
Aku, yang sejak berusia 9 tahun bahkan tidak merasakan lagi kehangatan sebuah keluarga.
Aku, yang sejak berusia 10 tahun bahkan harus terpisah dari seseorang yang telah melahirkanku.
Aku, yang sejak berusia 12 tahun bahkan harus menjalani kerasnya kehidupan ini sendirian.
Aku, yang sejak SD-SMP hanya mengandalkan beasiswa untuk bisa sekolah.
Aku, yang sama sekali tidak tahu harus kemana setelah lulus SMA.
Aku, yang berangkat ke Bogor hanya bermodal niat, keberanian dan semangat.
Aku, yang penuh dengan segala keterbatasan.
Aku, Hevi Metalika Aprilia. Pemilik nama aneh yang selalu ditertawakan setiap kali memperkenalkan diri dalam sebuah forum baru.
Saat ini, aku seorang mahasiswa semester tiga Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Setiap ditanya, bagaimana perasaanku menjadi bagian dari kampus hijau ini, aku selalu menjawab dengan sangat antusias, “Aku bangga sekali !”. Bagaimana tidak, aku yang awalnya tak pernah berani bermimpi sedikitpun untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, ternyata bisa sampai ke sini. Sebuah Perguruan Tinggi Negeri ternama di Negara ini. Aku masih ingat perkataan ibuku melalui telepon tetangga saat itu, “Nak, kan sudah melanjutkan sampai SMA, jadi sudah dulu ya? Berhenti dulu, kerja dulu.” Perkataan yang sama ketika aku baru lulus SMP. Bedanya, saat itu aku di sarankan untuk tidak melanjutkan ke SMA.
Ah, betapa saat itu hatiku terasa sakit. Memang, Ibuku hanya lulusan SMP dan Bapakku lulusan SMA. Tapi, tidakkah aku memiliki kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi dari mereka? Berbagai perasaan sedih dan sakit berkecamuk dalam hatiku. Tapi aku tidak akan menyerah hanya dengan berkata “iya” begitu saja. Kalau dulu aku bisa berusaha hingga masuk SMA, kenapa ke perguruan tinggi tidak?
Sungguh aku sangat mengerti, kenapa saat itu Ibu memintaku untuk tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Tentu saja satu hal itu yang menjadi permasalahan utama. Uang. Aku tahu itu. Aku tak bisa berkata-kata lagi jika sudah menyangkut hal itu. Ibu memang bekerja sendiri untuk membiayai seluruh keperluan sekolahku dan adikku sejak dulu. Jangan tanya, kamana Bapakku? Tolong jangan tanyakan itu. Pertanyaan itu sangat menyiksaku. Pertanyaan itu benar-benar membawaku ke sebuah masa lalu yang teramat menyakitkan.
***
9 tahun yang lalu....
Perempuan itu begitu asing. Perempuan itu datang bersama Bapakku, masuk ke dalam rumah kami. Masuk ke dalam kehidupan kami. Aku masih begitu polos untuk sekedar bertanya, “Siapa perempuan itu?”. Yang aku tahu, betapa saat itu tetangga-tetangga sibuk membicarakan keluarga kami. Katanya, perempuan itu adalah istri muda Bapakku. Dengan polosnya, aku menanyakan hal ini kepada Ibu. Ya Allah, betapa aku ingin menangis melihat ekspresi wajah ibu. Aku ingin menangis. Bukan karena kesedihan Ibu. Bukan. Bahkan Ibu sama sekali tidak menunjukkan wajah sedihnya. Dengan senyum lembutnya Ibu berkata, “Iya. Dia Ibu barumu, Nak.”
Sungguh aku tidak mengerti apa yang terjadi. Senyum Ibu. Ketegaran dan kekuatan hatinya membuatku ingin menangis. Aku menahan tangisku dalam pelukannya. Dan hatiku semakin terluka ketika melihat wajah adikku dalam usianya yang baru menginjak tahun ke dua.
Hanya beberapa minggu perempuan itu tinggal di rumah kami. Dia kembali ke tempat dimana dia berasal dengan membawa orang yang sebelumnya telah menjadi kepala keluarga kami. Ya, Bapak pergi meninggalkan rumah bersama perempuan itu. Tidak pernah kembali lagi. Kepergian Bapak menyisakan ribuan luka di hati kami. “Bapak, lihatlah. Berapa banyak hati yang terluka akibat tindakan itu ?”
***
Setelah kepergian Bapak, kondisi perekonomian keluarga kami semakin memburuk. Ibu bekerja sebagai pencuci ikan di TPI (Tempat Pelelangan Ikan) yang terletak di sebuah pelabuhan yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggal kami, dengan gaji mingguan yang kurang dari seratus ribu rupiah. Saat itu aku duduk di kelas 5 MI (Madrasah Ibtidaiyah)−setara SD (Sekolah Dasar), sedangkan adikku baru saja masuk TK (Taman Kanak-Kanak). Tentu saja gaji Ibu tidak mencukupi untuk kebutuhan kami bertiga. Ibu bermaksud ingin mencari pekerjaan lain, tapi Ibu yang hanya lulusan SMP sangat sulit mendapat pekerjaan dengan gaji yang lebih besar dari sebelumnya. Hingga tawaran itu datang, tawaran untuk menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita) di Malaysia. Setelah memohon ijin dari kami, Ibu mengambil tawaran itu dengan syarat tidak mau bekerja di bagian rumah tangga meskipun gajinya besar. Karena kami takut terjadi sesuatu dengan Ibu, bagaimanapun juga banyak kasus TKW dianiaya yang bekerja di bagian rumah tangga. 28 Juli 2008, ibu pergi meninggalkan kami.
Sejak hari itu aku tak pernah cukup kasih sayang, apalagi perhatian.
Ibu menitipkan aku dan adikku di sebuah gubuk kecil bersama seorang nenek tiri dari keluarga Ibu. Namun, tidak sampai satu bulan nenek tiriku memutuskan untuk pindah ke kampung halamannya, dengan membawa satu-satunya keluarga yang aku miliki−adik laki-lakiku yang saat itu berusia 3 tahun. Aku tidak mungkin ikut, karena aku harus tetap bersekolah. Saat itu aku baru menginjak awal tahun pelajaran kelas 6 MI. Akhirnya, aku tinggal sendirian di sebuah gubuk kecil satu-satunya peninggalan orangtuaku. Di situlah aku mulai merasakan dengan sadar, tentang kesedihan, kesepian, dan ketidaknyamanan hidupku.
Ketika tiba saatnya untuk pelepasan siswa kelas 6 MI, aku merasa menjadi anak paling malang di seluruh dunia. Semua temanku datang bersama orangtua mereka. Sedangkan aku? Siapa walimuridku? Tak satupun keluargaku yang datang. Lengkaplah kemalangan yang aku rasakan, ketika kepala sekolah mengumumkan di atas panggung bahwa peraih nilai tertinggi adalah Hevi Metalika Aprilia−siswanya yang paling menyedihkan.
Ya Allah, untuk apa nilai tertinggi itu? Aku bahkan tak merasa bangga pada diriku. Aku tak peduli, saat semua yang hadir menganggapku sebagai anak paling pintar diantara teman-temanku. Aku samasekali tidak peduli. Apalah arti penghargaan itu tanpa kehadiran orangtuaku ?
***
Begitulah kehidupanku berjalan hingga aku beranjak masuk SMP. Aku tinggal sendirian. Catat itu : sendirian ! Tapi tidak lagi di gubuk kecil-ku dulu. Gubuk itu kini diperbaiki dan dijadikan tempat tinggal oleh pamanku dan istrinya. Tapi, tunggu dulu ! Jangan berfikir pamanku sangat baik hati dengan mengajakku tinggal di rumah itu. Aku di usirnya. Ya, sekali lagi diusir. Pakaianku di letakkannya di depan rumah. Hingga aku dipungut oleh tetanggaku, yang kemudian mengajakku tinggal bersamanya.
Hari-hariku terasa berat. Aku sadar sesadar-sadarnya, kalau aku cuma numpang. Sehingga setiap hari aku harus bekerja membantu pamilik rumah, cuci-cuci, membersihkan rumah, halaman, hingga memasak. Hidup penuh kesabaran adalah hal yang paling sulit aku jalani.
Terkadang aku merasa iri dengan teman-temanku di sekolah. Mereka berangkat dengan kegembiraan di hati mereka, dan pulang disambut ibu mereka di rumah. Lalu, dengan ceria mereka bercerita tentang hari-hari seru mereka di Sekolah. Sedangkan aku? Ketika aku pulang, tak ada siapapun di rumah. Aku menangis setiap saat sampai air mataku kering. Tetap saja tak ada yang peduli padaku. Begitulah aku menjalani dunia-ku, dunia-ku yang aku yakini tak seorangpun ingin hidup dalam dunia itu.
Hingga suatu hari, Bu Yuyun −guru di SMP Negeri 1 Palang− memanggilku ke kantor. Beliau menyampaikan padaku bahwa ada orangtua murid yang sedang mencari salah satu murid lain untuk menemani putrinya−yang nilai matematikanya kurang−belajar dirumah. Kebetulan saat itu aku sebagai siswa dengan nilai matematika tertinggi di sekolah (Allahu Akbar). Demikian orangtua murid itu menjemput dan mengajakku tinggal di rumahnya. Sebuah rumah yang seolah surga bagiku. Aku tinggal di rumah itu hingga aku duduk di kelas 2 SMA.
***
Meski jarak yang begitu jauh memisahkan aku dan Ibu, tapi kami tetap menjaga komunikasi. Ibu sering meneleponku melalui telepon dari rumah tetangga, karena aku baru memiliki handphone ketika masuk SMA. Mengenai kabar adikku, aku sangat jarang bertemu dengannya. Aku hanya main ke sana jika Idul Fitri atau ada hari-hari libur tertentu.
Status Ibu memang masih menjadi seorang istri, karena Bapak tidak pernah mau menceraikan Ibu. Tapi itu hanya sekedar status semu menurutku. Karena toh Bapak tidak pernah menafkahi keluarga kami lagi. Ibu masih teramat muda untuk diperlakukan Bapak seperti ini. Ibu kelahiran tahun 1972, masih muda bukan?
Saat usiaku 16 tahun, aku sudah cukup untuk bisa berfikir dewasa. Aku sedih melihat kondisi keluargaku seperti ini. Dengan mengumpulkan segenap keberanian dan keteguhan hatiku, aku berniat mendatangi Bapakku di rumahnya. Nampaknya Bapak sangat terkejut dengan kedatanganku. Beliau mempersilahkan aku duduk di kursi depan rumahnya. Sebelum Bapak berkata apapun, aku memberondongnya dengan kalimat-kalimatku yang entah aku dapatkan dari mana.
“Bapak mungkin heran dengan kedatanganku. Aku tidak ingin meminta apapun. Sama sekali tidak. Aku hanya ingin menyampaikan apa yang aku rasakan selama ini. Bapak, lihat aku. Aku anakmu kan? Tapi pernahkah sedikit saja engkau berfikir: Bagaimana keadaanku? Dimana aku tinggal? Apa aku sudah makan? Bagaimana sekolahku? Pernahkah berfikir seperti itu? Tahukah kau bapak, dimana aku sekolah? Kelas berapa aku sekarang? Berapa nilai raportku? Tahukah? Bapak, sejak aku TK sampai sekarang bahkan engkau tak pernah sekalipun menginjakkan kakimu di sekolahku untuk sekedar mengambilkan raportku. Bahkan mungkin kau tidak tahu aku sekolah dimana? Tahukah, sejak kepergian Ibu ke Malaysia kehidupanku terlantar. Dari satu rumah ke rumah lain untuk menumpang tinggal. Tahukah, bagaimana perjuanganku untuk tetap bisa sekolah? Siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas hidupku? Atas pendidikanku? Tahukah, setiap kali tiba waktunya pengambilan raport aku harus menangis dan memohon kepada orangtua temanku agar sekalian mengambilkan raportku? Tahukah, setiap kali pertemuan wali murid di sekolah tidak pernah ada yang datang menjadi waliku? Pernahkah engkau memikirkan itu semua, Bapak? Pernahkah?” Tak terbendung sudah air mataku. Aku menangis sejadi-jadinya. Setiap orang yang berlalu-lalang di depan rumah menatapku dengan pandangan iba. Sementara Bapak hanya diam mematung di hadapanku. Aku melanjutkan kalimatku, “Dulu mungkin aku masih diam saja, karena aku masih terlalu polos untuk mengerti semua ini. Tapi sekarang tidak, Bapak. Aku tidak akan diam saja. Aku tidak akan membiarkan hal yang sama terjadi pada adikku. Lihatlah, adikku sekarang berusia 9 tahun. Dia belum bisa baca-tulis. Tidak ada yang mengajarinya. Tidak ada yang mengontrolnya. Aku minta tolong, Bapak. Aku mohon. Ceraikan ibuku. Dulu menikah baik-baik kan? Jadi aku mohon berpisah juga dengan cara yang baik-baik. Jangan mendzolomi Ibuku dengan tetap mengikatnya sebagai istri tapi tidak pernah engkau perlakukan sebagai istri, tidak pernah kau berikan hak-haknya. Ibuku masih terlalu muda. Biarkan Ibu menikah lagi. Biar Ibu bisa pulang dan mendampingi adikku di rumah. Aku mohon.”
Sunyi. Tidak ada yang bicara sepatah katapun. Setelah diam cukup lama, Bapak berkata, “Pulanglah. Malu dilihat banyak orang !” Sejenak aku merasa marah dengan ucapan Bapak. Setelah perkataanku yang begitu panjang. Hanya itu tanggapannya? Ya Allah, ampuni Bapakku. Beri aku kesabaran dan kekuatan. Aku mengusap sisa air mata dengan jilbabku. Kemudian pergi meninggalkan rumah itu.
***
Menjelang Ujian Akhir Nasional SMA, hampir seluruh teman-temanku sibuk mempersiapkan untuk mengikuti berbagai bimbingan belajar. Baik bimbingan belajar untuk menghadapi Ujian Akhir Nasional, maupun untuk persiapan masuk perguruan tinggi. Semua seolah berlomba-lomba untuk masuk di perguruan tinggi favorit. Namun, tidak dengan yang aku alami. Sejak awal semester akhir di kelas 3 SMA, Ibu sudah mengingatkan aku, “Nak, kan sudah melanjutkan sampai SMA, jadi sudah dulu ya? Berhenti dulu, kerja dulu.” Kalimat itu benar-benar menghantuiku. Selalu terngiang di telingaku setiap kali aku tergabung dalam pembicaraan bersama teman-temanku tentang kuliah. Sehingga aku hanya bisa diam dan tetap berusaha tersenyum menahan kepahitan tiap kali ada yang bertanya, “Mau kuliah dimana, Met?”
Hingga suatu hari datanglah kakak-kakak kelas dari berbagai perguruan tinggi ke sekolahku−SMA Negeri 2 Tuban. Sama seperti teman-teman yang lain, aku begitu antusias untuk mengikuti dan selalu bertanya-tanya tentang beasiswa. Tapi nampaknya begitu sulit mendapat beasiswa bagi seorang mahasiswa baru. Yasudahlah, Allah pasti punya rencana lain yang jauh lebih indah untukku. Pikirku, setiap kali rasa pesimis itu datang.
Dan Allah benar-benar menunjukkan rencana indahnya. Akhir tahun 2010, Bu Ida−Guru Bimbingan dan Konselingku−menyarankan agar aku mengikuti PMDK Prestasi (USMI) di IPB. Awalnya aku menolak, sungguh aku tak punya uang satu rupiah pun. Bagaimana mungkin aku akan mendaftar? Uang pendaftaran dua ratus ribu rupiah aku dapat darimana? Tapi bu Ida terus meyakinkan aku, beliau berkata, “Hevi, berusahalah. Ibu yakin kamu pasti bisa. Ibu beri waktu 1 minggu untuk mengumpulkan uang. Kalau sampai 1 minggu masih belum dapat juga, datang temui Ibu”. Akhirnya, dengan penuh semangat aku berusaha mencari dan mengumpulkan uang hingga tepat satu minggu setelah itu aku berhasil mengumpulkan Dua Ratus Ribu Rupiah. Berkas-berkas pendaftaran pun dikirim.
Kamis, 4 Februari 2010. Jam pertama sekolah.......
Ketika aku sedang berada di lapangan mengenakan kaos olahraga, tiba-tiba Bu Ida berjalan menuju lapangan dengan tampang kesal, sambil teriak "Mana Hevi !!! Mana...???" Aku kebingungan, sungguh aku benar-benar bingung. dengan tampang tak berdosa aku balik bertanya, "Iya Bu, saya Hevi Bu, Kenapa Bu?", "Mana temanmu yang lain?" Tanyanya lagi dengan tampang yang tak berubah. "Yang lain? Siapa Bu?" Aku kembali mengajukan pertanyaan. "Itu... Fikri, Deviana... sama siapa satunya yang daftar IPB itu?", "Erna, Bu?", "Ya, panggil semua kesini".
Dengan cepat aku segera berlari menuju tengah lapangan, tak lupa mengeluarkan jurus andalanku−teriak. Tak peduli semua mengumpat ke arahku. Setelah semua kumpul, kami berjalan ke tepi lapangan menemui Bu Ida. Dengan raut muka yang tetap tidak berubah, bu Ida berkata "Kalian ini bagaimana? Masa 1 pun tidak ada yang lolos PMDK IPB ??”
Demi Allah, aku benar-benar ingin menagis. Dengan tampang frustasi, kami berempat terduduk lesu di tepi lapangan. Tiba-tiba Bu Ida berkata,"Kalian sih, tidak mau syukuran. Ayo lah syukuran di kantin sana !" Dengan tampang bengong aku bertanya, "LHO? Maksudnya? Katanya tadi? Bagaimana toh Bu?". Bu Ida malah nyengir lebar menanggapi pertanyaanku. "Kalian Semua DITERIMA masuk IPB"
Subhanallah, aku menangis. Sungguh aku menangis. "Oh..iya, kelihatannya salah satu dari kalian ada yang dapat beasiswa" tambahnya, sebelum berlalu meninggalkan kami dalam kebingungan. Aku terduduk lesu di tepi lapangan, seketika semua teman-teman menghampiriku. Mereka memelukku.
Usai olahraga, aku bergegas menuju Ruang BK mencari Bu Ida. Sepertinya Bu Ida tau maksud kedatanganku, beliau segera menyuruhku duduk di hadapannya dan menyerahkan MAP dari IPB kepadaku, Bu Ida menyuruhku membukanya. Di lampiran ke-3 (kalo tidak salah) ada lampiran Calon Penerima Beasiswa Bidik Misi. Allahu Akbar !!!
Alhamdulillah, meskipun hanya formulir Calon Penerima Beasiswa Bidik Misi, tapi aku sangat bersyukur. Kesempatan itu semakin terbuka lebar. Meski aku belum berani memberi kabar kepada Ibu bahwa aku telah mendaftar ke IPB. Aku akan memberitahukannya nanti, nanti setelah beasiswa itu benar-benar nyata di genggamanku.
Aku segera mengurus surat-surat dan berkas-berkas yang diperlukan untuk persyaratan beasiswa itu. Menjelang H-2 deadline pengiriman formulir dan segala macam persyaratannya itu, semua sudah lengkap aku penuhi. Aku menyerahkannya pada pihak sekolah. Namun, ketika H-1 deadline pengiriman, aku mendapat telepon dari pihak sekolah bahwa berkas-berkasku hilang akibat kelalaian petugas sekolah. Astaghfirullah, ingin sekali aku menangis dan berteriak marah. Jarak rumah dan sekolahku tidak bisa dibilang dekat, aku sendiri nge-kost di rumah teman yang dekat sekolahku. Sore itu juga aku naik angkutan umum ke Desa tempat asalkuku. Yang pertama kali menjadi tujuanku adalah rumah Kepala Desa, tentu saja ingin meminta surat keterangan tidak mampu. Dua jam perjalanan ternyata masih kurang sebagai bagian dari perjuanganku, aku masih harus menunggu Kepala Desa yang ternyata sedang dalam perjalanan dari luar kota. Setelah 3 jam menunggu tak ada hasil, karena sudah lewat jam 9 malam juga, aku memutuskan untuk menginap di rumah salah satu temanku yang dekat dengan rumah Kepala Desa itu. Esok paginya, setelah sholat shubuh aku langsung ke rumah Kepala Desa. Setelah itu aku bergegas mengurus berkas-berkas yang lain, karena sebelum pagi ini semuanya sudah harus dikirim ke IPB. Tetapi meski sudah berusaha semampuku, birokrasi yang begitu rumit membuat aku terlambat melakukan semuanya. Hampir jam 3 sore semua berkas-berkas baru bisa dipenuhi. Akhirnya, dengan mengharap keajaiban dari Allah−semoga tidak terlambat−menjelang malam berkas-berkas baru dikirim.
***
Perjuangan itu indah, kawan. Lihatlah buah perjuangan sederhana itu. Beberapa bulan setelah pengiriman formulir dan berkas-berkas itu, pengumuman pun datang membawa kabar gembira. Bidik Misi pun hadir sebagai jawaban atas rencana indah-Nya. Aku menjadi Mahasiswa, kawan. Mahasiswa. Sebuah label yang dulu sama sekali tidak berani aku bayangkan.
Aku segera mengirim SMS kepada Ibu, ”Assalamualaikum. Ibu, saya mau kuliah. Saya mau kuliah di Bogor”. Seketika itu Ibu langsung meneleponku. Memberondongku dengan kalimat-kalimat marahnya, “Waalaikumsalam. Nak, kenapa kamu tidak bisa mengerti kondisi Ibu. Kondisi kita. Keadaan keluarga kita. Ibu kan sudah bilang, Ibu tidak punya uang sepeserpun untuk biaya kuliahmu. Kenapa masih memaksa untuk kuliah juga? (aku sengaja membiarkan Ibu menegurku, memarahiku terlebih dulu. Sebelum aku menyampaikan kabar gembira itu) Ibu Mohon, Nak. Lebih baik kerja saja dulu”. Setelah Ibu berhenti, aku mulai berbicara, “Ibu, Ibu tahu kan aku bukan anak yang bisa melawan orangtua. Aku tahu sekali, aku sangat tahu keterbatasan kita. Bu, dengarkan aku ya, aku mendapat beasiswa. InsyaAllah Ibu bahkan tidak perlu mengirimkan uang satu rupiahpun untuk kuliahku. Alhamdulillah, Allah mendengar doaku. Doa kita, bu”. Aku pun menangis. Sama seperti seseorang di seberang telepon sana. Kami sama-sama menangis penuh rasa syukur.
***
Mahasiswa luar biasa itu pun memulai perjalanannya. Ya, aku menyebut diriku sebagai Mahasiswa Luar Biasa. Luar biasa berati tidak biasa, bukan? Dan aku memang tidak biasa. Aku berbeda. Lihatlah, di dalam bus luar kota tujuan Bogor itu, ketika mahasiswa yang lain berangkat menuju Institut Pertanian Bogor ditemani orangtua yang duduk di samping mereka, mahasiswa luar biasa itu tengah duduk bersama orang asing di sampingnya. Dia berangkat sendiri, menyiapkan semuanya sendiri. Bahkan membawa 2 kopernya dengan tangannya sendiri.
Lihatlah, Mahasiswa Luar Biasa itu dengan keberaniannya datang ke tempat yang begitu asing baginya. Tempat yang dia yakini akan menjadikannya menjadi orang besar. Sebesar kekuatan dan keteguhan di dalam hatinya. Lihatlah, dia begitu percaya dengan janji-janji Tuhan-Nya, bahwa “Setelah kesusahan, selalu ada kemudahan”
***
Kedatanganku ke Bogor yang hanya bermodalkan niat dan semangat sempat membuatku minder sendiri. Aku takut tidak bisa mengimbangi teman-temanku di asrama. Aku takut tidak cocok bergaul dengan orang yang ‘berbeda’ denganku. Tapi, ketakutan-ketakutan itu justru berujung pada pengalaman-pengalaman yang besar. Pengalaman bertemu dan mengenal sosok-sosok yang mengagumkan.
Aku yang baru menyadari bahwa aku diterima di Fakultas Kehutanan, merasa sedikit ganjil. Ya, aku sama sekali tidak tertarik dengan jurusan ini. Pilihan pertamaku adalah Arsitektur Lanskap, sesuai hobi menggambarku. Awal kuliah di kehutanan, aku sangat tidak menikmati. Ya Allah, bahkan aku tidak mengerti mata kuliah di jurusanku sendiri. Tapi, berjalannya waktu aku mengerti, aku memahami. Allah punya rencana besar di balik semua ini.
Juni 2011, sebuah pengalaman luar biasa itu di mulai. Berawal dari sebuah ajakan untuk menulis karya sederhana, paper. Yang kemudian dikirimkan dan diterima di sebuah event ICEEA 2011 (International Conference on Environmental Engineering and Applications) di Shanghai, China. Dalam kelompok ini, perasaanku seringkali terlibat. Rasa minderku muncul lagi. Latar belakang yang berbeda benar-benar aku rasakan di sini. Registration author yang memerlukan biaya ratusan dolar benar-benar memeras otakku. Ketiga temanku dapat dana dari keluarga mereka, sedangkan aku? Siapa keluargaku? Sementara pengajuan proposal belum bisa dilakukan sebelum proses registrasi ini selesai. Mondar-mandir ke sana ke mari tidak ada hasil. Berniat mendanuskan tenaga, tapi tidak ada tanggapan. Sementara deadline pembayaran semakin mepet. Berkali-kali aku berfikir ingin mengikhlaskan kesempatan ini, toh dari awal aku tak pernah punya impian untuk ke luar negeri. Tapi kata-kata seorang kakak yang menjadi pembimbing kami benar-benar menjadi beban buatku, “Kakak tidak merestui kalian pergi, jika ada salah satu yang tidak berangkat karena faktor ekonomi”. Sungguh, sejak saat itu malam-malamku dipenuhi air mata. Ingin sekali aku ungkapan segalanya pada sosok Ibu. Tapi itu mustahil.
Hingga hari-H itu datang, deadline registration author. Kembali Allah menunjukkan rencananya yang indah. Akhirnya, kami semua dapat membayar registration author yang totalnya 1600 dolar itu.
Tapi perjuangan tidak berhenti sampai di situ, kawan. Justru setelah pembayaran registration author itu perjuangan yang lebih berat baru saja di mulai. Lihatlah, mahasiswa luar biasa itu bersama teman-temannya berkumpul dan rapat setiap hari. Dari pagi sampai larut malam. Setiap hari. Selama hampir 2 bulan. Tanyakanlah, apa yang mereka lakukan selama itu?
Lihatlah, kawan. Dengan penuh semangat mereka mengumpulkan biaya keberangkatan. Mereka berjualan nasi kuning, kue, bunga, hingga parsel. Mereka tawarkan dagangannya dari satu rumah ke rumah lain. Mengetuk setiap pintu yang mereka lewati. Lihatlah, mereka tidak malu melakukannya.
Hasilnya?
Lihatlah, 18 Agustus 2011 mereka berhasil mewujudkan impiannya. Mereka berhasil menginjakkan kakinya di sebuah Negeri yang maju. Shanghai, China.
***
23 Agustus 2011, 00:10 WIB
Aku kembali menginjakkan kakiku di Negeri ini, Indonesia. Begitu sampai di kamar kostku, aku segera tertidur dengan lelapnya. Sore harinya langsung berangkat ikut rombongan teman-teman untuk mudik ke Tuban, Jawa Timur. Sebenarnya, aku malas sekali untuk pulang ke kampung halaman. Bukan karena sudah nyaman di Bogor, sama sekali bukan. Tapi karena aku sama sekali tidak tahu harus ke mana jika aku tiba di Tuban. Tidak ada rumah yang menjadi tujuanku. Tapi aku sudah terlanjur memesan tiket pulang. Akhirnya aku pulang.
Setelah 17 jam lebih di perjalanan, aku sampai di Tuban. Tidak banyak yang berubah dari kota ini, hanya saja ada beberapa bangunan dan tempat wisata baru. Aku dijemput di dekat terminal bis oleh teman SMA-ku, kemudian istirahat sejenak di rumahnya. Kampungku masih jauh dari kota ini, harus naik angkutan umum kurang lebih satu jam, itupun kalau tidak macet. Jadi aku memutuskan untuk tidur siang dulu di rumah sahabat lamaku ini.
Menjelang sore hari, aku memutuskan untuk pulang ke kampung halamanku. Selama perjalanan, aku dilanda kegalauan yang luar biasa. Entahlah, aku juga tidak tahu apa sebabnya. Yang pasti, saat itu hanya satu yang tidak bisa lepas dari pikiranku : “Kemana aku menginjakkan kakiku setelah sampai? Ke rumah siapa?”. Tepat setelah adzan maghrib berkumandang, aku sampai di jalan setapak menuju rumah sepupu ibuku yang dulu aku pernah sempat tinggal di sana. Di rumah itu, masih ada beberapa barangku yang tertinggal, jadi sekalian saja aku ke sana−pikirku.
Aku masih ingat dengan jelas, saat itu masih bulan ramadhan, dan aku sedang berpuasa. Begitu aku menginjakkan kaki di rumah itu, tak satupun penghunianya menyapaku dengan ramah. Tentu saja aku tidak berani memasukkan koperku ke dalam, sehingga koper dan tas ranselku aku tinggal di depan pintu rumah. Melihat kondisiku yang begitu lelahnya, tak sedikitpun mereka menawarkan minuman. Ya Allah, aku belum berbuka puasa. Aku benar-benar menahan air mataku agar tidak keluar.
Segera aku mencari warung terdekat untuk membeli minuman. Aku menghampiri sebuah warung minuman, yang dulu merupakan warung langganan di masa kecilku. Tetangga-tetanggaku kaget melihat kedatanganku. Banyak yang mengajakku berbincang tentang keadaanku selama di Bogor. Alhamdulillah, ada yang menawariku berbuka puasa, dan aku pun sholat di salah satu rumah mereka. Setelah itu, aku memberanikan diri membawa koper dan tas ranselku meuju rumah adik kelasku yang dulu sangat akrab denganku. Aku menceritakan kondisiku saat itu, dia menawariku untuk menginap di rumahnya selama aku liburan di sana. Aku tidak langsung menjawab ‘iya’, aku hanya mengucapkan terima kasih banyak atas tawarannya.
Saat itu aku benar-benar tidak bisa berhenti menangis. Aku menangis dalam keheningan di sudut kamar adik kelasku ini. Aku membuka facebook dan langsung update status seperti ini :
“Sedih ga sih? Ketika mudik ga ada tempat yang bisa kita tuju?
Sakit ga sih? Ketika pulang ga ada tempat yang bisa menerima kita untuk sekedar duduk istirahat? Pengen balik ke bogor. Seenggaknya aku punya kamar kost di sana L
Dalam hitungan detik, banyak komentar masuk secara bersamaan. Hingga saat itu, seseorang langsung meneleponku. Teman SMP-ku, yang dulu pernah mengajakku tinggal di rumahnya. Rumahnya yang dulu seolah surga buatku. Bahkan hari itu kembali dia menelepon dan memintaku ke rumahnya setelah dia membaca statusku.
Lihatlah, kawan. Lebaran yang umumnya dinikmati setiap orang bersama keluarganya, justru dinikmati bersama keluarga orang lain. Hidup memang aneh. Oh tidak ! Ralat : Hidupku memang aneh. Aneh. Tidak biasa. Luar biasa.
***
Sehari setelah lebaran Idul Fitri aku segera kembali ke Bogor. Meskipun sebenarnya masih ada waktu libur satu minggu lagi, tapi aku tak berminat melanjutkannya. Aku lebih memilih menghabiskan sisa liburanku di kamar kost-ku sambil mengerjakan Laporan Pertanggung-Jawaban ICEEA 2011.
Sebuah berita yang mengejutkan hadir di minggu terakhir bulan september. Tiba-tiba aku bersama dua orang temanku mendapat panggilan dari Humas IPB untuk wawancara. Katanya, kami sebagai mahasiswa Bidik Misi yang telah berhasil menorehkan prestasi di luar negeri. Prestasi? Ya Allah, apa yang harus aku katakan? Itu hal yang sangat biasa menurutku. Bukan apa-apa. Aku malu dengan kalimat itu, “menorehkan prestasi di luar negeri” ?
Beberapa hari setelah itu, hal yang lebih mengejutkan berkali-kali lipat itu hadir lagi. Namaku, bersama dua orang temanku itu terpampang di Web Direktorat Kemahasiswaan IPB sebagai Mahasiswa Bidik Misi Berprestasi. Dan ternyata itu belum cukup, keesokan harinya tulisan yang sama termuat dalam Kompas.com dan Web Dirjen Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional.
Ya Allah, ini anugerah atau musibah? Aku bingung. Bingung sekali. Apalagi sebagai akibat dari tulisan-tulisan itu banyak sekali yang mengucapkan selamat melalui pesan facebook. Anehnya lagi, ucapan-ucapan itu sebagian besar datang dari mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari perguruan tinggi lain. Aku bingung, harus bagaimana menanggapi pesan-pesan itu? karena kenyataannya sungguh jauh berbeda dari berita yang tersebar itu.
Kawan, dengarlah. Aku tak sehebat apa yang ada di pikiran kalian. Aku memang mahasiswa luar biasa, tapi konotasinya sebagai mahasiswa yang memang bukan mahasiswa seperti kebanyakan mahasiswa lain. Aku bahkan tidak mengerti mata kuliah di jurusanku sendiri. Aku bahkan selalu mengantuk dan tidur di pojok kelas ketika dosen sedang memberi materi di depan. Aku bahkan sering bolos kuliah. Aku malu sekali.
Berita-berita itu memang terlalu berlebihan menurutku. Tapi seseorang meyakinkanku, bahwa aku tidak boleh merasa malu atas berita itu. Justru aku harus menjadikannya sebagai alasan kuat agar aku bisa lebih baik lagi. Lebih baik lagi, menjadi mahasiswa luar biasa yang benar-benar luar biasa. Luar biasa dalam konotasi yang benar-benar tidak biasa dalam hal ke-tidakbiasa-an yang baik.
***
Itulah kisahku. Kisah yang merupakan bagian dari proses kehidupan. Mungkin di awal banyak bagian pahitnya. Tapi aku percaya, bagian manisnya akan terasa di akhir. InsyaAllah.
Kepada Bapakku, ingin sekali aku katakan langsung di depannya :''Bapak, terimakasih banyak untuk semuanya. Karenamu aku bisa seperti sekarang. Mungkin tanpa keputusan dan tindakanmu dulu yang meninggalkan kami, aku tak akan bisa menjadi sekuat, setegar, dan seteguh sekarang. Terimakasih karena pernah begitu membuatku sakit hati. Mungkin memang itu caramu untuk mengajarkan kehidupan padaku. Hingga aku bisa seluar biasa ini.”
Sedangkan kepada Ibu, aku selalu berbicara padanya melalui hatiku. Yah, tentu saja. Karena ibuku selalu di hatiku. Setiap saat. Setiap waktu.
***
Kawan, dengarlah. Hidup ini terlalu indah untuk dilewati dengan berbagai macam keluhan. Hidup ini terlalu indah untuk dibiarkan tanpa dihiasi dengan sesuatu yang berkesan. Hidup ini terlalu indah untuk sekedar diagung-agungkan dengan impian-impian yang hanya dibiarkan tanpa perwujudan.
Maka, bergeraklah !
Bergeraklah membuat suatu perubahan besar dalam hidupmu !
Bogor, 10 Desember 2011
Di tepi Sungai Cangkurawok,
Balebak, Dramaga-Bogor
HEVI METALIKA APRILIA

7 komentar:

  1. bener meta offay's salut dmi alloh perjuangan nya bikin offay's semangat untuk jalani hidup dengan syukur nikmat
    smoga lebih sukses dan jadi mahasiswa luarbiasa yg selalu berprestasi dan berkarya terus:)

    BalasHapus
  2. karena kamu memang luar biasa :)

    BalasHapus
  3. Kupu-kupu itu mulai mengepakkan sayapnya,,, Kupu-kupu itu adalah kamu. Terus berjuang,, Everyone in this world is special. Believe it..

    BalasHapus
  4. Allahuakbar.. terus berjuang dan ikhlas mencari ridho Allah...

    BalasHapus
  5. Sungguh luar biasa,,,

    perjuangan itu akan terasa sangat indah...

    bila kita menikmati semua proses yg terjadi..

    yakinlah apa yg Allah pilihkan padamu, itulah jalan yg terbaik

    BalasHapus
  6. Allahuakbar.....
    Semangat yang Benar-benar luar biasa....
    Semoga mbk dbri kesuksesan yg lbh dri sblmnya...
    Aamiin

    BalasHapus

"I NEED YOUR COMMENT"