Sabtu, 13 Agustus 2011

Mereka, anak-anak yang luar biasa



Bismillah....
Berawal dari sebuah telp yang berasal dari nomor tak dikenal yang membangunkan tidurku malam itu, terjadi sebuah peristiwa luarbiasa yang tidak akan pernah terlupakan.
“Assalamualaikum dek meta, afwan mengganggu malam-malam. Dek saya menemukan seorang anak kecil yang tertidur di depan BNI bla bla bla bla......” (dengan intonasi yang sangat cepat sekali). Keadaanku yang baru saja bangun tidur, merasa kesulitan untuk menangkap apa yang dibicarakan ‘si penelpon’ ini yang baru aku sadari beberapa menit setelahnya adalah kak Riko. Kurang lebih beliau berbicara selama 1,5 menit. Diujung kalimatnya beliau berkata “....... gimana dek?”. Aku yang masih belum sepenuhnya sadar menjawab ,”Iyah kak”. Kemudian kak riko berkata, “Tunggu di depan kosan ya dek, bagus sekarang ke sana?”. Whaaatttt !!! aku beranjak dari tempat tidur dan mengumpulkan sisa-sisa kesadaranku untuk mengingat apa yang beliau bicarakan barusan. Aku amati jam di HP berkali-kali, berharap aku salah lihat. Tapi ternyata angka itu tidak berubah, tetap menunjukkan pukul 00:13 WIB meski aku amati berkali-kali. 
Aku terus-terusan berfikir, apa aku tidak salah dengar? Bagus? Ke sini? Jam segini? Tanpa pikir panjang aku segera ganti baju dan turun ke bawah menuju pintu gerbang kostku. Aku amati dari jendela, dan benar saja Bagus Dwi Utama dan Azfar Reza Muqafa telah berdiri di depan gerbang bersama dengan seorang anak kecil usia 9th. Aku berlari menuju kamar penjaga kostku untuk meminta kunci gerbang. Setelah aku ketuk berkali-kali beliau membuka pintu dengan wajah penuh tanda tanya (?_?), aku jelaskan sesingkat mungkin kemudian beliau keluar dan membukakan pintu gerbang kost-kostan ini. Setelah gerbang terbuka, tiba-tiba adik kecil itu langsung berlari ke arahku dan mencium tanganku, setelah berbicara seperlunya Bagus dan Reza pamit kembali ke kost mereka.
Aku menggandeng adik kecil ini dan mengajaknya ke kamarku. Kata Bagus tadi, si adik belum makan, tapi berkali-kali aku tawari makanan dia menolak dengan alasan tidak lapar dan sudah mengantuk. Aku merapikan tempat tidur kemudian mempersilahkan si adik untuk tidur di tempat tidurku, aku selimuti dia dan terus memperhatikannya hingga dia terlelap. Aku berbaring di sampingnya dan mencoba memejamkan mataku, tapi aku ga bisa tidur. Tiba-tiba hapeku berbunyi tanda ada pesan masuk. Dari kak Riko, beliau menjelaskan asal-usul bertemu dengan adik kecil ini.
Namanya Liana, kelas 5 SD (harusnya) tapi tidak naik kelas. Seorang peminta-minta yang biasanya beroperasi di sekitar BNI. Dia mengaku ga boleh pulang Ibunya kalau ga bawa uang Rp 55.000,-. Awalnya ka Riko, Bagus, Reza dkk bertemu Liana ketika mereka latihan nasyid di serambi GWW. Liana sangat senang katika Reza memberinya uang, kemudian Liana berlari meninggalkan GWW. Namun, ketika mereka selesai latihan nasyid dan bermaksud ingin pulang, mereka melihat seorang gadis kecil tidur di depan BNI. Setelah dilihat, ternyata gadis kecil ini adalah Liana. Karena merasa ga tega, mereka membangunkan Liana dan membawanya ke kostanku di Balebak.
Hingga pukul 02:00 WIB aku masih terjaga, entahlah pikiranku mengembara ke mana-mana. Usianya sama dengan usiaku ketika harus berpisah dengan Ibu. Sakitnya.... aku tidak akan membiarkan adik kecil ini terlantar, pikirku. Saat itu juga aku sudah merancang rencana, aku akan mengajak adik ini tinggal bersamaku, mengajaknya jalan-jalan, memberi kebutuhannya semampuku. Memikirkan rencana-rencana itu membuatku terlelap dengan sendirinya.
Pukul 05:00 WIB aku terbangun, kemudian aku membangunkan Liana dan mengajaknya sholat shubuh berjamaah. Usai sholat shubuh, rasa kantuk yang begitu berat menyerangku, ini nih kebiasaan buruk yang susah aku takhlukkan. Aku kembali berbaring di tempat tidurku bersama Liana, aku mengajaknya ngobrol dan terus bertanya tentang asal-usulnya, sekolahnya, kesehariannya, dan keluarganya. Pelan-pelan aku tertidur, tapi baru beberapa menit aku terbangun oleh gerakan Liana yang tiba-tiba beranjak dari tempat tidur. “Kok pensil warna kakak banyak? Wah.. ada spidol juga banyak sekali”, katanya dengan memperhatikan meja belajarku yang memang didominasi perlengkapan menggambar. “Iya dek, kan kakak suka gambar. Jadi punya banyak. Hehehe” jawabku. “Liana juga suka gambar, tapi tidak punya pensil warna”. Degg ! aku beranjak dari tempat tidur kemudian menghampirinya, “Adik mau pensil warna?” di mengangguk. Aku mengambil 1 paket pensil warna isi 12 dan spidol isi 12 juga dari rak kecil di atas mejaku—yang memang aku khususkan untuk perlengkapan menggambar—kemudian aku serahkan padanya. Dia menerimanya dengan wajah berseri-seri dan tak hentinya mengucapkan terimakasih padaku. “Adik mau ngapain sekarang? Kakak ngantuk nih mau tidur lagi hehehe... adik uda ga ngantuk? (dia menggeleng) yaudah adik menggambar saja yaa (aku mengambil sketbook dan menyobeknya beberapa lembar). Gambar di sini ya, kalau uda selesai gambarnya bangunin kakak. Oke?”. “Iya kak”, jawabnya. Aku pun terlelap di bawah selimut tebalku. Rasanya baru beberapa detik, tapi Liana sudah membangunkanku. “Kak, bangun kak, ini gambarnya uda selesai”, “Waduh, cepet amat. Mana kakak lihat? Kok Cuma 1? Gambar lagi yang banyak yah...”, kataku setengah membujuk agar aku bisa tertidur lebih lama (hehehe—jahat). Jam 7 pagi Liana kembali memgangunkanku dengan kalimatnya yang membuatku terkejut, “Kak, Liana mau ke BNI”. “Hah? Mau ngapain dek?”. “Mau nyari amal kak, buat belanja mama”, jawabnya polos. Astaghfirullah... apa yang harus aku lakukan? Aku berusaha menjelaskan semampuku bahwa hal itu tidak boleh dia lakukan, itu bukan kewajibannya, dia bahkan masih terlalu kecil untuk menanggung tanggung jawab mencari nafkah. Tapi dia terus memaksa mau ke BNI. Aku sms Ka Riko, Reza dan Bagus, tanggapan mereka semua hampir sama—tidak mengijinkan. Aku berusaha membujuknya, “Yaudah, sekarang adik mandi dulu ya. Habis itu ikut kakak ke Bara kita sarapan, trus ke kampus dulu ketemu sama ka Bagus dan ka Reza yang kemaren nganterin Liana itu lho. Ingat kan?”, “Iya kak” jawabnya sebelum dia berlalu ke kamar mandi.
Aku mengajaknya naik angkot menuju warung bubur ayam di depan telkom, dia senang sekali dan mengucapkan terimakasih karena kenyang. Setelah itu aku menggandengnya, mengajaknya ke depan sekret TPB bertemu Bagus, Reza, Sabrina dan Riki. Setiap teman yang melihatku merasa heran karena aku menggandeng anak kecil, tiap ada yang bertanya aku asal aja menjawab “Ini anakku, kenalin namanya Liana”, Liana pasti tertawa dan mencium tangan siapapun yang aku perkenalkan dengannya. Usai dari TPB aku mengajaknya ke Rumah Sejahtera (RS = Kontrakan saudari2ku di bara4), tidak aku sangka Liana senang sekali karena banyak yang mengajaknya bercanda. Aku titipkan Liana sebentar di sana, sedangkan aku ke Bara membeli makanan buat kami. Kami makan rame-rame sambil nonton tivi, setelah itu sholat dhuhur berjamaah. Nah... setelah sholat inilah, sikap Liana berubah menjadi aneh, tiba-tiba dia ijin mau main ke rumah temannya di depan BNI sendirian tidak mau aku antar, karena khawatir dia akan menghilang—sementara aku sudah janji sama ka Riko, Bagus dan Reza akan menjaganya dulu—jadi aku tidak mengijinkannya. Dia memasang raut muka sebal dan tidak suka, lalu teman-teman di RSj mengajaknya bermain. Inisiatif aku mengunci pintu dan kuncinya aku bawa. Teman-teman di RS tidur2an di kamar masing-masing, aku ketiduran di depan tv. Aku tebangun karena mendengar suara pintu berdecit, ternyata Liana mencoba kabur. Ketika aku tanya mau kemana, dia menjawab mau ke rumah neneknya di Bara 2. Padahal sebelumnya dia cerita kalau rumah neneknya di balebak –Nahloooh-. Aku menawarkan mengantar dia ke rumah neneknya, tapi lagi-lagi dia tidak mau. Terpaksa aku tidak mengijinkannya.
Sore itu jum 4 sore setelah mandi dan sholat aku mengajaknya ngumpul bareng tim paperku+ka riko di serambi GWW. Dia menolak dengan alasan takut dengan ka Riko. Aku terus membujuknya dengan alasan ka Riko ga jadi ikut, tapi dia tetap ga mau. Setelah lama aku membujuknya akhirnya dia mau. Di GWW dia terus-terusan ngambek, katanya mau ke BNI nyari uang. Tentu saja kami tidak mengijinkan, kemudian di berubah alasan mau ke rumah temannya di depan BNI, lagi-lagi aku menawarkan mau mengantar tapi dia ga mau. Sebelum maghrib dia memaksa mau ke rumah neneknya, aku bilang harus mengantarnya, kalu dia takut aku berbicara dengan neneknya aku sudah berjanji akan menunggunya di depan pintu saja. Awalnya dia setuju, tapi setelah sholat dia berubah pikiran, katanya mau ke Bateng saja ke rumah temannya. Tapi dia mau sendiri, ga mau diantar. Segera aku berdiskusi dengan teman-teman di dalam kamar dengan pintu terkunci. Kami benar-benar menyadari ada yang aneh dengan Liana. Melalui berbagai pertimbangan kami mempunyai banyak kesimpulan. Kemungkinan yang menyuruh dia itu ‘orang lain’, bukan Ibunya. Karena berkali-kali aku tawarkan mau mengantar dia pulang dan memberi uang langsung ke Ibunya tapi dia ga mau. Mau pergi kemana-mana juga harus sendiri, ga mau diantar. Mencurigakan. Kata Nur Hepsanti Hasanah, sebaiknya aku mencari tau tentang keadaan keluarga Liana kepada orang yang mengenalnya. Tiba-tiba aku ingat tadi pas lagi jalan sama Liana ada anak kecil yang menyapanya. Segera aku titipkan Liana pada saudari2ku ini, kemudian aku mengajak sabrina mencari anak kecil yang tadi menyapa Liana. Setelah melalui proses yang lumayan, aku menemukan anak kecil tadi sedang mengaji di sebuah rumah yang tak jauh dari RS. Setelah mengucapkan salam, pelan-pelan aku sampaikan maksud kedatanganku, seorang Ustadzah yang mengerti maksudku langsung menjelaskan panjang lebar tentang keadaan keluarga Liana. Dari sini pelan-pelan aku mengerti, kami terus mengobrol sampai Nurul Afifah menelponku dan memberitahu kalau Liana menangis memaksa pergi ke Bateng. Aku meminta sabrina kembali lebih dulu, sementara aku masih mengobrol dengan si Ustadzah yang aku ga tau siapa namanya. Selang beberapa menit, hapeku kembali berbunyi, telp dari Nurul lagi. Katanya aku harus segera kembali karena Liana terus menangis. Aku segera pamit dan kembali ke RS. Begitu aku membuka pintu, Zahra langsung menarikku masuk kamar. Liana tetap menangis di depan ruang tivi ditemani Nurul Hikmah, Puspa Pratiwi dan Fathiah. Di kamar, kami terus berdiskusi apa yang harus kami lakukan setelah ini. Atas usul Hepi, kami membiarkan Liana pergi ke bateng sendirian, namun kami sudah mengatur strategi akan ada beberapa orang yang mengawasi dari jauh. Segera kami menentukan pos-pos penjagaan, Hastia Windri dan Nurul Hikmah standbye di ujung gang bara 4, Nurul Afifah dan Ina Agistina di sekitar bara, Hepi dan Hana (Adiknya) langsung melanjutkan perjalanan pulang, dan Sabrina mengikuti Liana dari belakang. Sementara itu aku menghubungi Reza dan Ka Riko untuk standbye di Berlin. TAPIII.... ternyata semuanya berantakan, Liana jauh lebih jenius dari kami (faktor umur kali ya :p), ternyata dia mengambil jalan lain lewat gang kecil di samping RS. Sabrina segera mengejarnya. Sementara aku berlari ke depan Telkom menemui kak Riko dan Reza yang sudah aku telp sebelumnya. Aku ceritakan semua informasi yang aku dapatkan dari Ustadzah tadi, termasuk alamat nenek Liana yang ternyata ada di belakang Bank Jabar.
Kami segera menuju RS, setelah Reza memasukkan motor ke halaman RS kami berlari mengikuti jalan gang sempit di samping RS. Jalanannya sangat gelap dan menyeramkan, kami merasa heran kok Liana bisa menemukan jalan seperti ini. Kami terus mengikuti jalan hingga sampai di depan Danau di belakang Al-iffah. Aku menelpon Sabrina, katanya dia sudah kehilangan jejak Liana di berlin. Dengan berlari-lari kecil kami mencari jalan menuju Berlin menemui Sabrina. Setelah diskusi sebentar, kami memutuskan berpencar. Aku dan sabrina berkeliling di bara, Ka Riko dan Reza berjalan ke BNI lewat galery ATM. Aku segera menghubungi Zahra, Zulaikha dan Puspa agar segera standbye di BNI. Sambil berjalan, aku punya ide ke rumah nenek Liana yang di belakang bang Jabar. Setelah berkeliling bersama Sabrina, akhirnya ketemu sebuah rumah yang letaknya paling pojok. Awalnya kami bertemu dengan bibi Liana, beliau menceritakan tentang keadaan keluarga mereka. Ternyata Liana adalah seorang anak yatim, mempunyai 2 adik (Tarisa 6 th dan Zidan 6 bulan). Ibunya menikah lagi dengan seorang tukang ojek IPB yang tidak begitu peduli dengan anak-anak tirinya. Mereka sudah lama tidak tinggal bersama neneknya karena mengontrak rumah sendiri di Cibanteng. Kak Riko dan Reza menyusul ke sini. Beberapa saat kemudian, hapeku berbunyi ada sms dari Zahra. Katanya dia bertemu dengan anak kecil yang meminta-minta di BNI, tapi bukan Liana. Aku minta Zahra untuk bertanya nama anak itu, aku punya firasat itu Tarisa. Dan benar saja, itu tarisa adik Liana. Segera aku pamit dari rumah nenek Liana, membiarkan Sabrina, kak Riko dan Reza tetao di sana. Aku berlari secepat mungkin ke BNI, menemui Zahra, Puspa dan Zulaikha yang sedang duduk bersama Tarisa. Aku membungkuk di depan Tarisa, aku peluk tubuh kecilnya. “Hai adek, namanya Tarisa ya?”, “Iyah, kok kakak tau sih?” jawabnya penuh semangat. “Tau dong, pasti adiknya kak Liana ya?”, “Iya, kok tauu.. wahh kakak hebat hehehe” lagi-lagi dia menjawab dengan wajah cerianya yang penuh semangat.
“Tarisa ke sini sama siapa?” aku bertanya. “Sama mama” jawabnya. Sudah aku duga, ga mungkin anak 6 tahun ini ke sini sendiri dari Cibanteng.
“Mamanya sekarang dimana dek?” tanyaku lagi. “Itu di sana ! di Halte “ jawabnya sambil menunjuk halte di sebelah kiri BNI. Aku titpkan Tarisa ke Puspa, Zahra dan Zulaikha, sementara aku pura-pura berjalan ke arah halte. Aku berhenti di belakang halte. Aku perhatikan baik-baik sosok di depanku ini, ingin rasanya aku hampiri dan ajak berbicara dari hati ke hati. Aku latihan menyusun kata-kata yang pas untuk diucapkan, ketika aku mau maju menghampiri sang Ibu, tiba-tiba Tarisa datang dan duduk di samping Ibunya. Aku perhatikan dari belakang, aku melihat dengan sangat jelas Tarisa menyerahkan uang hasil dia meminta-minta ke Ibunya. Ibunya segera menerima dan memasukkannya ke kantong. Aku kembali ke BNI menemui teman-temanku yang lain, ada kak Riko, Reza dan Sabrina juga yang baru kembali dari rumah nenek Liana. Kami diskusi sebentar dan memutuskan untuk berbicara dengan Ibu Liana. Awalnya aku dan Sabrina berjalan menuju halte, pura-pura duduk di samping sang Ibu. Pelan-pelan ku ucapkan salam dan mulai berbicara, kurang lebih seperti ini :
“Assalamualaikum.. (Waalaikumsalam, jawabnya) Ibu, bolehkah saya berbagi sedikit cerita dengan Ibu? (Beliau diam saja) Tau ga Bu, semalam saya sedang kumpul bersama teman-teman saya di GWW sampai malam (ceritanya alibi, padahal yg kumpul itu Ka Riko, Reza, bagus dkk) terus ada anak kecil yang meminta-minta, setelah saya kasih uang dia senang sekali trus lari-lari ke arah BNI. Saat itu saya kira dia sudah pulang. Tapi ternyata pas tengah malam saya dan teman2 pulang lewat depan BNI dan melihat anak kecil tadi tidur di depan BNI. Karena kami peduli dan ga tega, kami bangunkan dia dan saya ajak ke kosan saya di Balebak. Paginya saya ajak dia kemanapun saya pergi, karena saya ga tega takut dia meminta-minta lagi di BNI. Terus tadi pas saya ke BNI, saya ketemu sama anak yang jauh lebih kecil lagi sedang melakukan hal yang sama. Hati saya sakit sekali Bu, perih rasanya menyaksikan kejadian itu. kasian gitu anak sekecil itu.....” Belum selesai kalimatku tiba-tiba Ibu itu berkata, “Iya, mereka kakak adik”. “Iya bu, saya tau. Liana dan Tarisa kan? Putri Ibu?”. Ibu itu hanya diam dengan raut muka ketakutan, seolah aku memojokkannya. Padahal bukan itu maksudku. Aku mulai bicara lagi, “Anak-anak adalah titipan Allah bu, betapa berharganya mereka. Kewajiban kita dalah mendidik dan mengarahkan mereka untuk menjadi orang yang baik. Mereka adalah penerus bangsa..... bla bla bla.....” aku tidak bisa menahan air mataku untuk keluar, tak lama kemudian kak Riko dan Reza datang dan duduk di depan kami.
“Sebenarnya saya juga ga tega, tapi...... ceritanya sangat panjang”, kata Ibu itu. kemudian dia juga menangis. Kak Riko mulai berbicara bergantian dengan Reza, intinya kami menjelaskan bahwa ga seharusnya anak kecil harus jadi korban untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, apalagi dengan cara meminta-minta. Menurut Reza—yang sangat peduli dengan anak2—anak kecil bagaikan mutiara, yang harus dijaga dan dirawat dengan baik, Reza juga menambahkan kalau misalnya Ibu kesulitan masalah ekonomi keluarga Reza siap membantu merawat dan menyekolahkan Liana sampai dewasa. Tapi sang Ibu hanya diam saja. Ketika aku tanya, “Suami Ibu kerja apa?” beliau menjawab suaminya sudah meninggal, aku tau itu. Namun menurut keluarga dan tetangga2nya di Bara, Ibu ini telah menikah lagi dengan tukang ojek IPB, sehingga aku bertanya “Maksud saya, suami Ibu yang baru”. Tapi Ibu itu menyangkal telah menikah lagi. Yasudahlah, kami tidak ingin memaksa apa yang tidak ingin diceritakan.
Kak Riko berdiri, berjalan ke belakang halte dan memberi isyarat padaku untuk mengikutinya. “Dek, gimana kalau kamu menginap di rumah mereka 1 malam? Lihat gimana keadaan mereka disana. Mau ga?” katanya. “ow.. iyah boleh kak. Tapi saya kembali ke RS dulu ngambil tas ya?”. Setengah berlari aku menuju RS, tapi berhenti dulu di Bara memesan 3 bungkus nasi goreng. Setelah berpamitan dengan teman-teman di RS, aku pergi mengambil pesanan nasi goreng kemudian berjalan dengan cepat ke halte lagi. Karena sudah lewat jam malam, Kak Riko dan Reza pamitan lebih dulu, aku dan Sabrina bersiap pulang bersama ke kontrakan Ibu Liana di Cibanteng.
Turun dari angkot, kami menyeberang dan melewati gang-gang kecil yang gelap di Cibanteng. Aku sudah punya bayangan tentang sebuah rumah yang akan kami masuki nanti. Kami melewati kolam-kolam ikan yang besar dan berhenti di samping kolam yang mirip Kali ini—karena saking kotornya. Tiba-tiba Ibu itu langsung mengeluarkan kunci dan membuka salah satu pintu dari sekian banyak pintu yang berjejer di sekitar kolam. Ya Tuhan, aku baru sadar kalo pintu-pintu ini adalah rumah-rumah yang dikontrakkan. Begitu pintu terbuka, Ibunya Liana mempersilahkan kami masuk. Aku amati rumah kontrakan ini. Ya Allah, bahkan tempat tinggal mereka lebih kecil dari kamar kostku. Keadaan yang sangat memprihatinkan, bahkan tempat buat sholat aja ga ada. Aku belum sholat isya pula. Astaghfirullah...
Aku mengeluarkan nasi goreng yang aku beli di bara tadi, firasatku benar bahwa mereka belum makan. Kami makan sama-sama dalam ruangan mungil ini. Usai makan, aku sampaikan niatku ingin menjalankan ibadah sholat Isya, Alhamdulillah Ibunya mengerti dan membereskan barang-barang yang berserakan di karpet. Untungnya pula aku membawa mukena—disini ga ada. Sebelum tidur, kami berbicara lagi membahas Liana yang sampai saat itu belum diketahui dimana keberadaannya. Kami semua tidur dalam 1 karpet biru—yang Alhamdulillah cukup J. Dalam tidurku, aku mendengar dering nada telp hapeku. Aku biarkan. Tapi ternyata diangkat oleh Sabrina, aku terbangun mendengar suara percakapan Sabrina dengan seseorang ditelp. “Siapa rin yang telp?”, tanyaku setengah sadar. “Ihsan”, jawabnya. “Haaaaah? Siapaa?” aku langsung bangun dan melihat jam menunjukkan pukul 22:40 WIB. “Serius Rin? Bilang apa dia?” tanyaku tak percaya, “Dia ketemu Liana katanya”. “Kok dia bisa tau masalah ini? Trus gimana? Liana uda ketemu? Dimana Liana sekarang?”, tanpa pikir panjang aku telp balik ke nomor Ihsan bermaksud meminta penjelasan tentang Liana. Tapi sebelum aku bisa menangkap penjelasannya, pulsaku keburu habis. Hahahahaa yasudahlah aku dan Sabrina melanjutkan tidur kami.
Keesokan paginya....
Setelah menjalankan ibadah sholat shubuh kami bermain dengan adik bayi ‘Zidan’ yang baru berusia 6 bulan. Aku peluk dia dalam pangkuanku. Subhanallah... lucu sekali. Setelah beberapa menit aku rasakan tanganku hangat, dan benar saja dia ngompol. Huhuhu... tangan dan rokku basah. Setelah aku dan tarisa mengganti celananya (Ibunya sedang mencuci), aku tidak jera juga untuk menggendong si mungil ini. Dan apa yang terjadi? Dia pipis lagi untuk kedua kalinya.... huhuhuL.
Bangun tidur tadi ka Riko sempat mengirim SMS, beliau memintaku berbicara dari hati ke hati dengan Ibunya Liana, kalau perlu aku harus menceritakan kondisi keluargaku—yang memang tak jauh beda dari segi ekonomi. Pelan-pelan kembali aku berbicara dengan Ibu ini, aku ceritakan bagaimana masa kecilku yang harus berpisah dari Ibu ketika aku berusia 9 tahun, aku jelaskan bagaimana perekonomian keluargaku dan keadaan rumahku yang hampir sama dengan beliau. Bahkan perjuangan Ibuku hingga aku terus bisa sekolah. Beliau ikut terharu dan mencoba mengerti. Tapi tetap tidak mengakui kalau telah menikah lagi. Ughf.... tak lama kemudian, Tarisa muncul membawa sisa nasi goreng yang aku berikan semalam, dia memakannya lagi untuk sarapan. Astaghfirullah...
Jam 8:30 WIB aku dan Sabrina berpamitan.
Astaghfirullah... tak henti-hentinya aku beristighfar atas hal-hal luarbiasa yang aku temukan beberapa hari terakhir ini. Keadaan mereka yang penuh keterbatasan sangat memicu semangatku. Apalagi hal ini dengan nyata terjadi di bumi kampus tercinta, Institut Pertanian Bogor. Mahasiswa macam apa aku, kalau hanya berdiam diri melihat keadaan ini. Sementara dengan sangat jelas aku melihat semuanya.
Saudara-saudaraku yang dimuliakan Allah,, mari kita buka mata melihat hal-hal yang terjadi disekitar kita. Ini nyata teman-teman, benar-benar nyata terjadi di bumi tempat kita mencari ilmu. Mari bantu saudara-saudara kita yang memerlukan uluran tangan kita. Kalau bukan kita, siapa lagi?
Kesuksesan yang benar-benar nyata adalah ketika kita bisa bermanfaat bagi orang lain.
Ukhuwah itu sangat indah bila kita mampu merasakannya...
NB : Teman-teman yang punya rejeki lebih dan mau berkontribusi di jalan Allah, mari sama-sama kita membantu mereka. InsyaAllah akan berkah....
HEVI METALIKA APRILIA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"I NEED YOUR COMMENT"