Selasa, 19 Desember 2017

BERSABAR DALAM PENANTIAN (Bagian 1)

“Cara terbaik untuk menghadapi ketidakpastian adalah dengan memastikannya.”



Hujan deras mengguyur jalan tol Jakarta - Cikampek. Setiap percikannya terasa menghantam wajahku yang tengah memanas karena luapan air mata. Lima puluh menit telah berlalu sejak aku duduk di kursi penumpang bus malam antar provinsi ini.
Begitu mendadak, aku memutuskan untuk meninggalkan Jakarta menuju Surabaya. Cuti kantor pun aku ajukan hanya melalui telepon singkat, untungnya general manager tempatku bekerja adalah teman baikku saat kuliah sehingga dia bisa mengerti kondisiku. Barang bawaanku hanya sebuah koper kecil yang muat 5 potong gamis beserta jilbabnya dan sebuah tas ransel berisi laptop.
Seperti mimpi buruk, tiba-tiba membatalkan pernikahan setelah semua perencanaan dan persiapan telah dilakukan. Dan dia menyampaikan keputusan itu hanya melalui pesan singkat di Whatsapp, penjelasan singkat dan diakhiri permintaan maaf. WHAT?

---

Empat tahun lalu aku mengenalnya lewat sebuah proses yang disebut taaruf. Dia dan keluarganya tinggal di Jakarta, tidak terlalu jauh dari tempatku bekerja. Dia laki-laki yang aku yakini sebagai laki-laki yang sholeh, cerdas, dan bertanggungjawab. Selama enam bulan menjalani proses itu kami merasa cocok dan memutuskan untuk melanjutkan ke tahap pernikahan. Ustadz-Ustadzah yang menjadi perantara kami dalam menjalani proses taaruf menyarankan agar pernikahan dilangsungkan sesegera mungkin dan tidak lebih dari 1 tahun setelah proses itu, lebih cepat lebih baik. Harapannya agar proses yang dijalani tetap terjaga sesuai syariat, penuh barakah, dan menghindari campur tangan syaitan.
Sebagai perempuan, aku hanya bisa menunggu. Setelah lewat satu tahun, dia baru datang ke rumahku untuk menemui keluargaku. Kepada orang tuaku dia berjanji akan menikahiku dalam waktu kurang dari 6 bulan. Kami pun menyusun segala persiapan mulai dari dokumen-dokumen KUA, undangan, hingga pernak-pernik acara.
Lewat 5 bulan dari pertemuan itu, yang seharusnya menjadi H-1 bulan menjelang pernikahan, tiba-tiba dia menunjukkan sikap aneh. Tanpa alasan yang jelas tiba-tiba dia menghubungiku via telpon dan mengatakan ingin menunda dulu rencana pernikahan kami. Orang tua dan keluarga besarku terus menerus mendesakku agar memastikan rencana kami. Setelah ngobrol lewat chatting, kami memutuskan untuk menunda rencana pernikahan hingga 6 bulan lagi. Dengan berat hati hal itu aku sampaikan kepada keluargaku di Surabaya.
Enam bulan pun berlalu. Dia kembali berkelit ingin menunda. Sungguh, aku benar-benar tidak tahu apa masalahnya. Dia tidak pernah jujur padaku. Dan memang komunikasi kami pun terbatas karena ingin menghindari interaksi yang berlebihan. Aku semakin dilema, di satu sisi aku masih ingin bersabar menunggunya, masih ingin percaya bahwa saat ini mungkin dia sedang kesusahan menghadapi sebuah masalah, masih ingin menuruti hatiku yang memang sudah mulai menyimpan perasaan terhadapnya. Di sisi lain, keluargaku terus menerus mendesakku agar memberi kepastian.
Aku menunggu, terus menunggu. Menunggu sesuatu tanpa kepastian. Menunggu saja sudah sangat melelahkan, bukan? Apalagi tanpa kepastian. Sungguh berkali kali lebih melelahkan. Sayangnya aku terlalu takut untuk mengakhiri, sayangnya aku terlalu bodoh untuk bersikap tegas. Aku membiarkannya berlarut-larut hingga bertahun-tahun.
---
Hari ini, empat tahun telah berlalu. Aku mencoba menghubunginya. Tapi dia menolak bertemu denganku dengan alasan banyak kerjaan di kantor dan harus ke luar kota. Banyak hal berkecamuk dalam hatiku. Aku merasa sudah terlalu lelah dengan penantian tanpa kepastian ini.
Well, cara terbaik untuk menghadapi ketidakpastian adalah dengan memastikannya. Aku putuskan untuk mengirimkan email.

Dear Furqon,
Hanya sekedar ingin mengingatkan "Ada aku loh di sini, menunggumu". Mungkin saat ini kamu tengah sibuk dengan agenda-agenda pentingmu. Aku pun sadar, ocehan ini hanyalah hempasan angin yang membuatmu menggigil. Sungguh mengusikmu. Tapi kalau boleh, ijinkan aku meminta sedikit menitmu untuk menceritakan perasaan ini. 
Dalam setiap tetesan air mataku, aku selalu berdoa dan berharap Allah akan menggantinya dengan kebahagiaan diujung penantian ini. Aku selalu menyemangati diriku sendiri, "Tak apalah, rasakan dulu rasa yang paling sakit, nikmati dulu rasa yang paling pahit, kelak kamu akan merasakan manisnya kebersamaan setelah Allah menyatukan dalam ikatan yang halal. Bersabarlah, sebentar lagi saja". Aku hanya tidak ingin kesabaran dan pengorbanan selama 4 tahun ini berakhir kecewa dan sia-sia. 
Aku sangat mempercayaimu. Apapun yang kamu lakukan aku selalu berusaha husnudzon. Sudah tak terhitung kesempatan dan kepercayaan yang aku berikan. Tapi dengan mudahnya kamu terus menunda rencana pernikahan kita. Seolah kesibukan-kesibukanmu yang lain jauh lebih penting. Seolah perasaanku tidak penting sama sekali. Kalau memang seperti itu, seharusnya kamu tidak mengikatku seperti ini. 
Aku tau cinta butuh pengorbanan. Dan aku rasa pengorbanan yang aku lakukan hingga sejauh ini sudah lebih dari cukup. 
Kamu pernah bilang, aku perempuan yang layak diperjuangkan. Aku juga pernah bilang, cinta itu tanggung jawab. Jadi, jangan pernah bicara soal cinta jika kamu tidak berani mengambil tanggungjawab terhadap perempuan yang katanya kamu cintai. 
Aku ingin menikah tahun ini, jika kamu tidak bisa juga memenuhi, tolong jangan mengikatku lebih lama lagi. 
Bukan benci yang bisa membuat seseorang menjauh. Tapi kecewa. Dan aku sudah benar benar kecewa padamu. Jadi tolong, jangan menjadi penghalang bagiku untuk menemukan jodoh yang lebih tepat daripada kamu. 
Bukankah pilihan adalah untuk diperjuangkan? Jika berjuang pun enggan, apa yang hendak diharapkan?

---

Pukul 11 siang, handphone­-ku berbunyi, aku membukanya. Sebuah pesan dari Furqon. Jantungku berdetak sangat kencang. Seluruh tubuhku terasa menggigil. Padahal aku belum membaca isi pesannya. Tapi aku tahu, isi pesannya pasti menanggapi email yang aku kirimkan tadi pagi.

“Mira, saya ingin meminta maaf atas ketidakmampuan saya dalam memenuhi janji terhadapmu dan keluargamu. Maaf, kalau selama ini saya sudah terlalu menyakitimu. Saya tidak ingin menjadi dzolim dengan terus mengikatmu tanpa kepastian. Bersama pesan ini, saya putuskan untuk mundur saja. Semoga kamu segera menemukan jodoh yang lebih baik daripada saya”

Bagai petir di siang bolong, isi pesan itu seolah menyambarku. Aku menangis sejadi-jadinya selama hampir 1 jam. Suara adzan dhuhur berkumandang, seolah menyadarkanku bahwa aku masih punya Allah. Aku segera mengambil air wudhu. Usai sholat dhuhur, aku segera memesan tiket bus menuju Surabaya.


Bersambung……

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"I NEED YOUR COMMENT"